Minggu, 06 Mei 2012

MENGENAL 37 PANGKAT WALI ALLAH

MENGENAL 37 PANGKAT WALI ALLAH

PANGKAT WALI ALLAH SEBAGAI BERIKUT:
1.Qutub Atau Ghauts ( 1 abad 1 Orang )
Al Aqtab berasal dari kata tunggal Al Qutub yang mempunyai arti penghulu. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Al Aqtab adalah pangkat kewalian yang tertinggi. Jumlah wali yang mempunyai pangkat tersebut hanya terbatas seorang saja untuk setiap masanya.
2. Aimmah ( 1 Abad 2 orang )
Al Aimmah berasal dari kata tunggal imam yang mempunyai arti pemimpin. Setiap masanya hanya ada dua orang saja yang dapat mencapai pangkat Al Aimmah. Keistimewaannya, ada di antara mereka yang pandangannya hanya tertumpu ke alam malakut saja, ada pula yang pandangannya hanya tertumpu di alam malaikat saja.
3. Autad ( 1 Abad 4 Orang di 4 penjuru Mata Angin )
Al Autad berasal dari kata tunggal Al Watad yang mempunyai arti pasak. Yang memperoleh pangkat Al Autad hanya ada empat orang saja setiap masanya. Mereka tinggal di utara, di timur, di barat dan di selatan bumi, mereka bagaikan penjaga di setiap pelusuk bumi.
4. Abdal ( 1 Abad 7 Orang tidak akan bertambah & berkurang Apabila ada wali Abdal yg Wafat Alloh menggantikannya dengan mengangkat Wali abdal Yg Lain ( Abdal=Pengganti ) Wali Abdal juga ada yang Waliyahnya ( Wanita ).
Al Abdal berasal dari kata Badal yang mempunyai arti menggantikan. Yang memperoleh pangkat Al Abdal itu hanya ada tujuh orang dalam setiap masanya. Setiap wali Abdal ditugaskan oleh Allah swt untuk menjaga suatu wilayah di bumi ini. Dikatakan di bumi ini mempunyai tujuh daerah. Setiap daerah dijaga oleh seorang wali Abdal. Jika wali Abdal itu meninggalkan tempatnya, maka ia akan digantikan oleh yang lain. Ada seorang yang bernama Abdul Majid Bin Salamah pernah bertanya pada seorang wali Abdal yang bernama Muaz Bin Asyrash, amalan apa yang dikerjakannya sampai ia menjadi wali Abdal? Jawab Muaz Bin Asyrash: “Para wali Abdal mendapatkan darjat tersebut dengan empat kebiasaan, yaitu sering lapar, gemar beribadah di malam hari, suka diam dan mengasingkan diri”.
5. Nuqoba’ ( Naqib ) ( 1 Abad 12 orang Di Wakilkan Alloh Masing2 pada tiap-tiap Bulan).
An Nuqaba’ berasal dari kata tunggal Naqib yang mempunyai arti ketua suatu kaum. Jumlah wali Nuqaba’ dalam setiap masanya hanya ada dua belas orang. Wali Nuqaba’ itu diberi karamah mengerti sedalam-dalamnya tentang hukum-hukum syariat. Dan mereka juga diberi pengetahuan tentang rahasia yang tersembunyi di hati seseorang. Selanjutnya mereka pun mampu untuk meramal tentang watak dan nasib seorang melalui bekas jejak kaki seseorang yang ada di tanah. Sebenarnya hal ini tidaklah aneh. Kalau ahli jejak dari Mesir mampu mengungkap rahasia seorang setelah melihat bekas jejaknya. Apakah Allah tidak mampu membuka rahsia seseorang kepada seorang waliNya?

6. Nujaba’ ( 1 Abad 8 Orang )
An Nujaba’ berasal dari kata tunggal Najib yang mempunyai arti bangsa yang mulia. Wali Nujaba’ pada umumnya selalu disukai orang. Dimana saja mereka mendapatkan sambutan orang ramai. Kebanyakan para wali tingkatan ini tidak merasakan diri mereka adalah para wali Allah. Yang dapat mengetahui bahwa mereka adalah wali Allah hanyalah seorang wali yang lebih tinggi darjatnya. Setiap zaman jumlah mereka hanya tidak lebih dari lapan orang.
7. Hawariyyun ( 1 Abad 1 Orang ) Wali Hawariyyun di beri kelebihan Oleh Alloh dalam hal keberanian, Pedang ( Zihad) di dalam menegakkan Agama Islam Di muka bumi. Al Hawariyun berasal dari kata tunggal Hawariy yang mempunyai arti penolong. Jumlah wali Hawariy ini hanya ada satu orang sahaja di setiap zamannya. Jika seorang wali Hawariy meninggal, maka kedudukannya akan diganti orang lain. Di zaman Nabi hanya sahabat Zubair Bin Awwam saja yang mendapatkan darjat wali Hawariy seperti yang dikatakan oleh Rasululloh: “Setiap Nabi mempunyai Hawariy. Hawariyku adalah Zubair ibnul Awwam”. Walaupun pada waktu itu Nabi mempunyai cukup banyak sahabat yang setia dan selalu berjuang di sisi beliau. Karena beliau tahu hanya Zubair saja yang meraih pangkat wali Hawariy. Kelebihan seorang wali Hawariy biasanya seorang yang berani dan pandai berhujjah.
8. Rojabiyyun ( 1 Abad 40 Orang Yg tidak akan bertambah & Berkurang Apabila ada salah satu Wali Rojabiyyun yg meninggal Alloh kembali mengangkat Wali rojabiyyun yg lainnya, Dan Alloh mengangkatnya menjadi wali Khusus di bulan Rajab dari Awal bulan sampai Akhir Bulan oleh karena itu Namanya Rojabiyyun. Ar Rajbiyun berasal dari kata tunggal Rajab. Wali Rajbiyun itu adanya hanya pada bulan Rajab saja. Mulai awal Rajab hingga akhir bulan mereka itu ada. Selanjutnya keadaan mereka kembali biasa seperti semula. Setiap masa, jumlah mereka hanya ada empat puluh orang sahaja. Para wali Rajbiyun ini terbagi di berbagai wilayah. Di antara mereka ada yang saling mengenal dan ada yang tidak saling mengenal.
Pada umumnya, di bulan Rajab, sejak awal harinya, para wali Rajbiyun menderita sakit, sehingga mereka tidak dapat menggerakkan anggota tubuhnya. Selama bulan Rajab, mereka senantiasa mendapat berbagai pengetahuan secara kasyaf, kemudian mereka memberitahukannya kepada orang lain. Anehnya penderitaan mereka hanya berlangsung di bulan Rajab. Setelah bulan Rajab berakhir, maka kesehatan mereka kembali seperti semula.
9. Khotam ( penutup Wali )( 1 Alam dunia hanya 1 orang ) Yaitu Nabi Isa A S ketika diturunkan kembali ke dunia Alloh Angkat menjadi Wali Khotam ( Penutup ).
Al Khatamiyun berasal dari kata Khatam yang mempunyai arti penutup atau penghabisan. Maksudnya pangkat AlKhatamiyun adalah sebagai penutup para wali. Jumlah mereka hanya seorang. Tidak ada pangkat kewalian umat Muhammad yang lebih tinggi dari tingkatan ini. Jenis wali ini hanya akan ada di akhir masa,yaitu ketika Nabi Isa as.datang kembali.
10. Qolbu Adam A.S ( 1 Abad 300 orang )
11. Qolbu Nuh A.S ( 1 Abad 40 Orang )
12. Qolbu Ibrohim A.S ( 1 Abad 7 Orang )
13. Qolbu Jibril A.S ( 1 Abad 5 Orang )
14. Qolbu Mikail A.S ( 1 Abad 3 Orang tidak kurang dan tidak lebih Alloh selau mengangkat wali lainnya Apabila ada salah satu Dari Wali qolbu Mikail Yg Wafat )
15.Qolbu Isrofil A.S ( 1 Abad 1 Orang )
16. Rizalul ‘Alamul Anfas ( 1 Abad 313 Orang )
17. Rizalul Ghoib ( 1 Abad 10 orang tidak bertambah dan berkurang tiap2 Wali Rizalul Ghoib ada yg Wafat seketika juga Alloh mengangkat Wali Rizalul Ghoib Yg lain, Wali Rizalul Ghoib merupakan Wali yang di sembunyikan oleh Alloh dari penglihatannya Makhluq2 Bumi dan Langit tiap2 wali Rizalul Ghoib tidak dapat mengetahui Wali Rizalul Ghoib yang lainnya, Dan ada juga Wali dengan pangkat Rijalul Ghoib dari golongan Jin Mu’min, Semua Wali Rizalul Ghoib tidak mengambil sesuatupun dari Rizqi Alam nyata ini tetapi mereka mengambil atau menggunakan Rizqi dari Alam Ghaib.
18. Adz-Dzohirun ( 1 Abad 18 orang )
19. Rizalul Quwwatul Ilahiyyah (1 Abad 8 Orang )
Di antaranya pula ada wali yang dikenal dengan nama Rijalul Quwwatul Ilahiyah artinya orang-orang yang diberi kekuatan oleh Tuhan. Jumlah mereka hanya lapan orang saja di setiap zaman. Wali jenis ini mempunyai keistimewaan, yaitu sangat tegas terhadap orang-orang kafir dan terhadap orang-orang yang suka mengecilkan agama. Sedikit pun mereka tidak takut oleh kritikan orang. Di kota Fez ada seorang yang bernama Abu Abdullah Ad Daqqaq. Beliau dikenal sebagai seorang wali dari jenis Rijalul Quwwatul Ilahiyah. Di antaranya pula ada jenis wali yang sifatnya keras dan tegas. Jumlah mereka hanya ada 5 orang disetiap zaman. Meskipun watak mereka tegas, tetapi sikap mereka lemah lembut terhadap orang-orang yang suka berbuat kebajikan.
20. Khomsatur Rizal ( 1 Abad 5 orang )
21. Rizalul Hanan ( 1 Abad 15 Orang )
Ada jenis wali yang dikenal dengan nama Rijalul Hanani Wal Athfil Illahi artinya mereka yang diberi rasa kasih sayang Allah. Jumlah mereka hanya ada lima belas orang di setiap zamannya. Mereka selalu bersikap kasih sayang terhadap manusia baik terhadap yang kafir maupun yang mukmin. Mereka melihat manusia dengan pandangan kasih sayang, kerana hati mereka dipenuhi rasa insaniyah yang penuh rahmat.
22. Rizalul Haybati Wal Jalal ( 1 Abad 4 Orang )
23. Rizalul Fath ( 1 Abad 24 Orang ) Alloh mewakilkannya di tiap Sa’ah ( Jam ) Wali Rizalul Fath tersebar di seluruh Dunia 2 Orang di Yaman, 6 orang di Negara Barat, 4 orang di negara timur, dan sisanya di semua Jihat ( Arah Mata Angin )
23. Rizalul Ma’arijil ‘Ula ( 1 Abad 7 Orang )
24. Rizalut Tahtil Asfal ( 1 Abad 21 orang )
25. Rizalul Imdad ( 1 Abad 3 Orang )
Di antaranya pula ada yang termasuk dalam golongan Rijalul Imdadil Ilahi Wal Kauni, yaitu mereka yang selalu mendapat kurniaan Ilahi. Jumlah mereka tidak lebih dari tiga orang di setiap abad. Mereka selalu mendapat pertolongan Allah untuk menolong manusia sesamanya. Sikap mereka dikenal lemah lembut dan berhati penyayang. Mereka senantiasa menyalurkan anugerah-anugerah Allah kepada manusia. Adanya mereka menunjukkan berpanjangannya kasih sayang Allah kepada makhlukNya.
26. Ilahiyyun Ruhamaniyyun ( 1 Abad 3 Orang ) Pangkat ini menyerupai Pangkatnya Wali Abdal
Di antaranya pula ada yang termasuk dalam golongan Ilahiyun Rahmaniyyun, yaitu manusia-manusia yang diberi rasa kasih sayang yang luar biasa. Jumlah mereka ini hanya tiga orang di setiap masa. Sifat mereka seperti wali-wali Abdal, meskipun mereka tidak termasuk didalamnya. Kegemaran mereka suka mengkaji firman-firman Allah.
27. Rozulun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
28. Rozulun Wahidun Markabun Mumtaz ( 1 Abad 1 Orang )
Wali dengan Maqom Rozulun Wahidun Markab ini di lahirkan antara Manusia dan Golongan Ruhanny( Bukan Murni Manusia ), Beliau tidak mengetahui Siapa Ayahnya dari golongan Manusia , Wali dengan Pangkat ini Tubuhnya terdiri dari 2 jenis yg berbeda, Pangkat Wali ini ada juga yang menyebut ” Rozulun Barzakh ” Ibunya Dari Wali Pangkat ini dari Golongan Ruhanny Air INNALLOHA ‘ALA KULLI SAY IN QODIRUN ” Sesungguhnya Alloh S.W.T atas segala sesuatu Kuasa.
29. Syakhsun Ghorib ( di dunia hanya ada 1 orang )
30. Saqit Arofrof Ibni Saqitil ‘Arsy ( 1 Abad 1 Orang )
31. Rizalul Ghina ( 1 Abad 2 Orang ) sesuai Nama Maqomnya ( Pangkatnya ) Rizalul Ghina ” Wali ini Sangat kaya baik kaya Ilmu Agama, Kaya Ma’rifatnya kepada Alloh maupun Kaya Harta yg di jalankan di jalan Alloh, Pangkat Wali ini juga ada Waliahnya ( Wanita ).
31. Syakhsun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
32. Rizalun Ainit Tahkimi waz Zawaid ( 1 Abad 10 Orang )
33. Budala’ ( 1 Abad 12 orang ) Budala’ Jama’ nya ( Jama’ Sigoh Muntahal Jumu’) dari Abdal tapi bukan Pangkat Wali Abdal
34. Rizalul Istiyaq ( 1 Abad 5 Orang )
35. Sittata Anfas ( 1 Abad 6 Orang ) salah satu wali dari pangkat ini adalah Putranya Raja Harun Ar-Royid yaitu Syeikh Al-’Alim Al-’Allamah Ahmad As-Sibty
36. Rizalul Ma’ ( 1 Abad 124 Orang ) Wali dengan Pangkat Ini beribadahnya di dalam Air di riwayatkan oleh Syeikh Abi Su’ud Ibni Syabil ” Pada suatu ketika aku berada di pinggir sungai tikrit di Bagdad dan aku termenung dan terbersit dalam hatiku “Apakah ada hamba2 Alloh yang beribadah di sungai2 atau di Lautan” Belum sampai perkataan hatiku tiba2 dari dalam sungai muncullah seseorang yang berkata “akulah salah satu hamba Alloh yang di tugaskan untuk beribadah di dalam Air”, Maka akupun mengucapkan salam padanya lalu Dia pun membalas salam aku tiba2 orang tersebut hilang dari pandanganku.
37. Dakhilul Hizab ( 1 Abad 4 Orang )
Wali dengan Pangkat Dakhilul Hizab sesuai nama Pangkatnya , Wali ini tidak dapat di ketahui Kewaliannya oleh para wali yg lain sekalipun sekelas Qutbil Aqtob Seperti Syeikh Abdul Qodir Jailani, Karena Wali ini ada di dalam Hizab nya Alloh, Namanya tidak tertera di Lauhil Mahfudz sebagai barisan para Aulia, Namun Nur Ilahiyyahnya dapat terlihat oleh para Aulia Seperti di riwayatkan dalam kitab Nitajul Arwah bahwa suatu ketika Syeikh Abdul Qodir Jailani Melaksanakan Towaf di Baitulloh Mekkah Mukarromah tiba2 Syeikh melihat seorang wanita dengan Nur Ilahiyyahnya yang begitu terang benderang sehingga Syeikh Abdul qodir Al-Jailani Mukasyafah ke Lauhil Mahfudz dilihat di lauhil mahfudz nama Wanita ini tidak ada di barisan para Wali2 Alloh, Lalu Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani bermunajat kepada Alloh untuk mengetahui siapa Wanita ini dan apa yang menjadi Amalnya sehingga Nur Ilahiyyahnya terpancar begitu dahsyat , Kemudian Alloh memerintahkan Malaikat Jibril A.S untuk memberitahukan kepada Syeikh bahwa wanita tersebut adalah seorang Waliyyah dengan Maqom/ Pangkat Dakhilul Hizab ” Berada di Dalam Hizabnya Alloh “, Kisah ini mengisyaratkan kepada kita semua agar senantiasa Ber Husnudzon ( Berbaik Sangka ) kepada semua Makhluq nya Alloh, Sebetulnya Masih ada lagi Maqom2 Para Aulia yang tidak diketahui oleh kita, Karena Alloh S.W.T menurunkan para Aulia di bumi ini dalam 1 Abad 124000 Orang, yang mempunyai tugasnya Masing2 sesuai Pangkatnya atau Maqomnya.
Firman Allah dalam Surat Al-Imron ayat 169:
“LA TAHSABANNAL LADZI QUTILUU FI SABILILLAHI AMWATAN, BAL AHYAUN INDA ROBBIHIM YURZAQUNA ”
Terjemahnya sebagai berikut:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang2 yang gugur di jalan Alloh itu ‘MATI’ bahkan mereka itu ‘HIDUP’ di sisi tuhannya dengan mendapat rezqi”.
HIDUP Yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat keni’matan2 di sisi Alloh, Dan hanya Alloh sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan HIDUP nya itu.

Rabu, 18 April 2012

PERSAKSIAN DZOHIR BATHIN

Oleh : Mendro Kusumo ( Anfas Kusumo Al-Akhyar )

Sholat itu ada dua perkara :
1. Sholat yg berhubungan dg Badan
Sholat ini adalah tanda bahwa kita adalah sebagai orang islam, karena sholat dzohir ini bentuk dari sebuah ketaatan dan syiar Agama.
2. Sholat yg berhubungan dengan hati
Adalah bentuk dari keimanan, sehingga hati selalu ingat Alloh (dzikir) sehingga mewujudkan hakikat NIAT
Hakikat dari pd NIAT itu sendiri adalah sebuah persaksian qolbu atau hati atau ruh kita. Hati itulah yang menyaksikan jasad atau anggota tubuh kita mau melaksanakan perintah dari Tuhannya....dan yg menjadi saksinya adalah seluruh anggota badan/tubuh kita
Jadi intinya bahwa sholat itu adalah mi'rajnya seorang mukmin, menyaksikan Alloh sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Utusan...

Kita Menyaksikan atau melihat Alloh sebagai Tuhan lewat, melalui Rahmat-Nya yg berupa NIAT dan Muhammad sebagai saksi atas datangnya NIAT tersebut. Makanya Nabi Muhammad disebut sebagai Rosululloh atau utusan Alloh yg menyaksikan datangnya rahmat Alloh tersebut

Itulah hakikat dari pd dua kalimat syahadat, lisan ( Muhammad ) mengucapkan  dan hati membenarkan (Alloh yg membenarkan)
Itu semua adalah sebuah persaksian antara Alloh dan Utusannya ( Nabi Muhammad ), makanya kita diberi alat yg berupa talqin dzikir agar kita bisa menyaksikan persaksian tersebut.

Maksudnya agar kita juga dapat disaksikan oleh Alloh dan rosulnya...bukan disaksikan oleh setan, cilakalah kita karena mendapatkan saksi yg tidak dapat dipertanggung jawabkan. Maka rosululloh mentalqin para sahabat dengan tujuan agar mendapatkan saksi dari Alloh dan Rosulnya
bagaimana caranya agar kita juga dapat saksi dari Alloh dan Rosulnya?Segera Ambil talqin dari seorang Mursyid, karena beliau yg mendapat limpahan rahmat Alloh melalui Rosululloh.
Sehingga kita bisa menyaksikan Alloh dan Rosulnya dengan alat dzikir jahar dan dzikir khofi
Dzikir jahar sebagai alat saksi badan karena dzikir tersebut terdengar semua makhluk dan itu adalah sebuah bukti kita sebagai orang Islam.

Sedangkan dzikir khofi sebagai alat saksi hati kita karena dzikir khofi itu diambil dari sumbernya yaitu Rosululloh yang memiliki stempel dari Alloh Swt, sampai  Para Sahabat terus turun tumurun dan membentuk rantai emas dan silsilah yang langsung dari Rosululloh sampai kepada Guru Mursyid kita, sehingga kita akan mendapatkan limpahan  Rahmat dari Alloh. 
Dan Muhammad ( Mursyid ) Sebagai saksi atas datangnya limpahan karunia yang tak terhingga dan kita menyaksikan semua itu melalui DZIKIR ...Allohu Alloh...Allahu ALloh...
kita hanya mampu menyaksikan semua itu dg ismu dzat dari Yang Maha Agung dari Guru Agung, itulah hakikat Yang Maha Agung

Semoga bermanfaat


WARNING !!!
Jika seseorang belum mengambil talqin dzikir dari seorang Mursyid....lalu dia mampu menyaksikan sendiri, tanpa perantara atau wasilah dari seorang Murysid, maka tanpa disadari dia telah mengambil saksi untuk Ruh Ruhani kita dari Syaithon.Sehingga Ruh Ruhani kita yang selalu memomong (among) kita terisolasi didalam hati kita.

Dan kalau kita meninggalkan sholat dzohir , lalu didalam hatinya ia merasa mampu, merasa paling dekat dllnya, maka tanpa disadari pula kita telah mengambil saksi untuk ruh jasmani kita dari Syaithon...Na'udzubillah.
Sehingga Ruh Ruhani kita yang lengket dibadan kita akan terisolasi didunia ini
Untuk memahami artikel ini, saya sarankan mencari seorang Guru Mursyid yang dapat menjelaskannya

Rabu, 29 Februari 2012

Jumat, 24 Februari 2012

MURSYID



Mursyid Kamil Mukammil
oleh: K.H. Wahid Zuhdi 
( pengasuh Ponpes al-Ma’ruf, Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jateng; juga sebagai wakil Syuriyah NU wilayah Jateng dan sebagai anggota lajnah tashhih NU Pusat dan di persatuan thariqat se-Indonesia )

Mursyid kamil mukammil adalah seorang mursyid yang sudah sempurna dalam wushulnya kepada Allah dan dapat menyempurnakan muridnya untuk juga wushul kepada Allah. Mursyid kamil mukammil pastilah seorang waliyullah, tetapi sebaliknya, seorang waliyullah belum tentu seorang mursyid. Karena seoarang mursyid mempunyai otoritas mematrikan/menghunjamkan dzikir ke dalam qolbu seorang murid untuk mensucikan qolbunya dan sebagai biji iman yang siap dicangkul, dipupuk, dirawat, disirami sampai tumbuh dan berkembang yang akhirnya akan berbuah manisnya iman.

Dengan biji iman yang ditanamkan ke dalam qolbu yang telah disucikan oleh mursyid kamil mukammil dan diiringi dengan ketekunan, keistiqomahan seorang murid dalam menjalankan petunjuk mursyid, insya Allah akan terjadi perubahan secara simultan dalam diri seorang murid menuju kemerdekaan yang hakiki yaitu bebas dari segala belenggu penghambaan/perbudakan kepada dan terhadap apapun kecuali hanya kepada ALLAH.

Mursyid akan senantiasa mendoakan, membimbing, mengingatkan, mengarahkan, menata perjalan murid menuju Allah yang sungguh sangat banyak tipu dayanya.

Wali Mursyid Itu Perlu

Seorang saudaraku bertanya:
APAKAH ADA PERADABAN YG LEBIH BAIK DARI ISLAM? TIDAK!!
Hmm..kadang aku berpikir, apa kunci Rasulullah hingga mampu membangun satu peradaban baru hanya dalam waktu 23 tahun...?

Barangkali kuncinya seperti tergambar dalam surat al-Jum'ah / 67:2. Beliau menjalankan tiga tugas utama:
1. Tilawah, membacakan ayat-ayat Allah. Memperkenalkan kepada orang-orang tentang adanya petunjuk 'langit', dan meyakinkan mereka tentang kebanaran ayat-ayat 'langit' itu.
2. Tazkiyah, mensucikan jiwa pengikutnya. Tanpa kesucian jiwa maka makna ayat-ayat yang dibacakan tak akan terpahami dengan baik, tak juga ayat-ayat itu terasakan sebagai penggerak yang memotivasi orang untuk mengamalkannya.
3. Taklim, mengajarkan ketentuan-ketentuan Allah (hukum, kitab) juga tujuan dan manfaat dari ketentuan-ketentuan tersebut (hikmah).

Sekarang ini fungsi tilawah telah banyak tergantikan oleh berbagai media. Kalau dulu hanya dibacakan oleh orang, sekarang ayat-ayat telah dibukukan, dikasetkan, di-CD/ VCD-kan, didigitalkan. Orang dapat mengaksesnya secara langsung. Untuk membacanya pun sudah banyak tersedia kursus-kursus yang dapat melatihkannya dengan berbagai metode yang sangat cepat.

Fungsi taklim masih berjalan terus, bahkan makin banyak ustadz yang memimpin majlis-majlis taklim, baik langsung maupun menggunakan fasilitas distance learning melalui radio/tv dan internet.

Yang jadi masalah adalah fungsi tazkiyah. Rasulullah s.a.w. mentazkiyah jiwa para sahabat sebelum mentaklim mereka. Jiwa para sahabat sudah tersucikan lebih dulu sebelum mendapatkan taklim. Tapi siapa yang mentazkiyah diri kita saat ini? Untuk tilawah kita dapat menggunakan berbagai multi media ayat yang banyak tersebar dengan harga murah. Untuk taklim kita dapat mendatangi majlis taklim, halaqah, liqa', dan mabit; menjumpai para ustadz dan murabbi. Tapi semua itu kita lakukan dengan qalbu yang kotor karena tidak mengalami tazkiyah lebih dulu.

Adakah para ustadz/kyai itu dapat mentazkiyah jiwa kita. Apakah para murabbi kita juga sudah tersucikan jiwanya sehingga mampu mentazkiyah kita? Kadang kita katakan, tak perlu tazkiyah secara formal, lakukan saja ibadah-ibadah yang ada dengan ikhlas dan tekun, nanti jiwa akan tertazkiyah sendiri. Betulkah? Bagaimana kita dapat ikhlas kalau belum tazkiyah. Bagaimana akan termotivasi dan tekun beribadah kalau masih banyak kototan jiwa? Jadi berputar-putar dong, untuk tazkiyah perlu ibadah, tapi untuk ikhlas dan tekun ibadah diperlukan tazkiyah lebih dulu...

Kita katakan tak perlu ada tazkiyah secara formal, juga tak perlu ada orang yang mentazkiyah kita, karena kita memang belum mengetahui pentingnya dua hal itu. Rasulullah s.a.w. mendapatkan tilawah, tazkiyah, dan taklim dari malaikat Jibril. Para sahabat mendapatkannya dari Rasul s.a.w. Para tabi'in dari para sahabat... begitu seterusnya. Tapi lagi-lagi, siapa yang mentazkiyah kita saat ini? Kadang kita terlalu arogan dengan mengatakan tak perlu tazkiyah dan orang yang mentazkiyah, karena hubungan kita dengan Allh SWT bersifat langsung dan individual, tak memerlukan perantara. Tapi betulkah kita, dengan segala kekotoran kita dapat terhubung langsung dengan Allah? Bukankah Rasulullah s.a.w. sebelum mikraj pun ditazkiyah dulu qalbunya oleh Jibril?

Masukilah rumah lewat pintunya. Pelajarilah agama melalui sumbernya. Seraplah cahaya ilahiah melalui salurannya. Mursyid itu perlu... Kita gak kan pandai tanpa guru (bukankah dikatakan, siapa yang belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan...).

Jiwa tak kan terbersihkan tanpa ada yang men-tazkiyah-nya.
Tentu jangan sembarang orang kita jadikan mursyid. Bagaimana ia akan men-tazkiyah diri kita kalau dia pun belum tersucikan jiwanya. Carilah mursyid yang berkualifikasi wali. Bukan wali murid, atau wali nikah, tapi wali Allah... Tapi bagaimana kita mengetahui seseorang itu wali Allah, jangan-jangan kita malah terjebak oleh pengkultusan yang menyesatkan


Eksistensi Seorang Mursyid

Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.

Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran.

Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.


Thariqah

Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau salah satu jalan menuju wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi, thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah.

Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan pokok atau inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak membutuhkan pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia tua yang biasanya kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti thariqah hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja.

Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau bahkan bisa sampai derajat wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan satu-satunya.


Wushul
Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk mencapai derajat wushul (sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke derajat tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap thariqah adalah satu-satunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul.

Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat wushul. Ada dua ibadah yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini dikarenakan shalat dan dzikir merupakan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa diharapkan akan membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam shalat dan dzikir orang akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan.

Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan barang. Oleh Imam Hanafi orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya. Namun ketika baru setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan barangnya yang hilang sambil membisikkan agar tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk melanjutkan shalatnya.

Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai hasil maksimal harus melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan juga tiak ada yang menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan dengan disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan tergoda oleh syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu haqiqat) dan masih jauh dari standar.

Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran maupun terhindar dari kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak pada aqidah.


Mursyid

Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.

Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah.

Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.


Urgensi Mursyid Dalam Tarekat

Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi dalam praktek sufisme, bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang diserap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam taat ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”

Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang 

Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

 Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan taat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar batin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah

Minggu, 19 Februari 2012

Thariqah

• Pengertian Tasawuf •
Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW. gaya hidup sederhana, tetapi penuh kesungguhan. Akhlak Rasul tidak dapat dipisahkan serta diceraikan dari kemurnian cahaya Alquran. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan garis perhentian cita-cita tasawuf dalam Islam itu.

Dhunnun al-Misri, seorang sufi yang terkemuka, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tasawuf ialah pembebasan dari ragu dan putus asa, kemudian tegak berdiri beserta yakin iman. Pengertian yang simpang siur tentang urat bahasa sufi dan tasawuf menimbulkan pengiraan bahwa tasawuf Islam mencakup pula bahan-bahan sufi Yunani dan mistik, serta Hindu Farsi. Pandangan tersebut merupakan pengiraan yang keliru dan mengelirukan. Terlepas dari adanya pengakuan jujur tentang adanya persamaan yang tampak lahirnya, ataupun mengenal istilah-istilah dan cara-cara melatih jiwa. Di dalam tasawuf Islam ditemukan ciri-ciri yang istimewa; yaitu pengembalian dengan cara mutlak segala persoalan agama dan kehidupan kepada Alquran dan Sunnah.

Al-Junaid, penghulu sufi Islam, di dalam redaksi yang bermacam-macam menegaskan bahwa yang mungkin menjadi ahli tasawuf itu hanyalah barang siapa yang mengetahui keseluruhan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena itu yang sebenarnya tasawuf adalah kefanaan diri ke dalam kemurnian Alquran dan Sunnah.

• Pengertian Tareqat •
Secara terminologi (istilah) tarekat yang berasal dari kata thariqah itu mula-mula berarti jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kemudian ia digunakan untuk menunjuk suatu metode psikologi moral untuk membimbing seseorang mengenal Tuhan.  Thariqah dalam pengertian inilah yang digunakan dalam karya al-Junayd, al-Hallaj, al-Sarraj, al-Hujwiri, dan al-Qushayri. Melalui jalan itu seseorang dengan menempuh berbagai tingkatan psikologis dalam keimanan dan pengamalan ajaran Islam dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi, sehingga akhirnya ia mencapai realitas (hakikat) Tuhan yang tertinggi.

Tarekat adalah suatu metode praktis dalam membimbing murid dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan secara berurutan untuk merasakan hakikat Tuhan. Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah.
Berdasarkan uraian itu maka dapat disimpulkan bahwa tarekat adalah jalan yang ditempuh murid agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan di bawah bimbingan guru (mursyid).

• Perkembangan  Thariqah
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan non-formal yang namanya  Thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Thariqah Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Thariqah Naqsabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah, dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahlal-Thariqah al-Mu'tabarah.


Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah

Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M.). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Thariqah Naqsabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Thariqah Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.

Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syaikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).

Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.

Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.

Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, tentang adab (etika), tentang dzikir, dan tentang murakabah.


Sumber :  http://www.suryalaya.org

Jumat, 17 Februari 2012

LATIFAH


 LATIFAH

1. latifatul qolbi
2. latifatur ruh
3. latifatus sirri
4. latifatul khoffi
5. latifatul akhfa
6 .latifatun nafsi
7. latifatul qolab

‎1. latifatul qolbi

Tempatnya kira-kira 2 jari di bawah buah dada kiri. yang mempunyai pengikut-pengikut di bawah ini (nafsu lawamah) :

1. lupa mengingat allah
2. suka mencela
3 . menuruti hawa nafsu
4 . makar/menipu
5. membanggakan diri
6. mengunjing
7. riya/pamer
8. aniaya/dhalim
9. berbohong


‎2. latifatur ruh

tempatnya kira-kira 2 jari dibawah buah dada kanan. Yang mempunyai pengikut-pengikut (nafsu mulhimah/sawiyah):

1. dermawan
2. tidak rakus
3. lapang dada
4. merendahkan hati
5. bertaubat
6. tahan uji
7. tahan menderit


‎3. latifatus sirri

tempatnya kira-kira 2 jari di atas buah dada kiri. Yang mempunyai pengikut-pengikut (Nafsu mutmainah) :

1 tidak kikir
2. tawakal
3, ibadah dengan ikhlas
4. syukur atas nikmat
5. ridho
6. takut maksiat


4. latifatul khoffi

tempatnya kira-kira 2 jari di atas buah dada kanan. Yang mempunyai pengikut-pengikut (Nafsu Mardiay/Rodhiyah) :

1. baik budi pekerti
2. meninggalkan selain Allah SWT
3. belas kasihan kepada sesama makhluk
4. selalu mengajak kepada kebaikan
5. memaafkan kesalahan semua pihak
6. sayng sesama makhluk hidup
7. tahu diri


5. latifatul akhfa

tempatnya ditengah-tengah dada. Yang mempunyai pengikut-pengikut (Nafsu Mardliyyah) :

1. ilmu yaqin
2. ainul yaqin
3. haqqul yakin


‎6 .latifatun nafsi

Tempatnya di antara 2 alis (ditengah-tengah jidat). Yang mempunyai pengikut-pengikut (Nafsu Amarah) :

1. pelit/bakil/kikir
2. serakah
3. dengki/iri hati
4. bodoh
5. takabur
6. syahwat melanggar syariat
7. pemarah


‎7. latifatul qolab.

Nafsu Kamilah..tidak punyai pengikut. jika latifah 7 ini dikuasai akan mengalami Musyahadah & makrifat.

TALQIN DZIKIR


TALQIN DZIKIR

Didalam thoriqoh ada yang disebut Talqinudz-Dzikr, yakni pendiktean kalimat dzikir La ilaaha illallah dengan lisan (diucapkan) atau pendiktean Ismudz-Dzat lafadz Allah secara bathiniyah dari seorang guru mursyid kepada muridnya.
Dalam melaksanakan dzikir thoriqoh seseorang harus mempunyai sanad (ikatan) yang mutasil (bersambung) dari guru mursyidnya yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Penisbatan (pengakuan adanya hubungan) seorang murid dengan guru mursyidnya hanya bisa melalui Talqin dan Ta'lim dari seorang guru yang telah memperoleh izin untuk memberikan ijazah yang sah yang bersandar sampai kepada guru mursyid Shohibuth Thoriqoh, yang terus bersambung sampai kepada rasulullah SAW.
Karena dzikir tidak akan memberikan faidah secara sempurna kecuali melalui talqin dan izin dari seorang guru mursyid. Bahkan mayoritas ulama thoriqoh menjadikan talqin dzikir ini sebagai salah satu syarat dalam berthoriqoh. Karena isi (rahasia) didalam thoriqoh sesungguhnya adalah keterikatan antara satu hati dengan hati yang lainnya sampai kepada rasulullah SAW, yang bersambung sampai kehadirat Yang Maha Haqq, Allah Azza wa Jalla.
Dan seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir yang juga lazim disebut baiat dari seorang guru mursyid, berarti dia telah masuk silsilahnya para kekasih Allah yang Agung.
Jadi jika seeorang berbaiat thoriqoh berarti dia telah berusaha untuk turut menjalankan perkara yang telah dijalankan oleh mereka.
Perumpamaan orang yang berdzikir yang telah di talqin / dibaiat oleh guru mursyid itu seperti lingkaran rantai yang saling bergandengan hingga induknya, yaitu Rasulullah SAW. Jadi kalau induknya ditarik maka semua lingkaran yang terangkai akan ikut tertarik kemanapun arah tarikannya itu. Dan silsilah para wali sampai kepada Rasulullah SAW itu bagaikan sebuah rangkaian lingkaran-lingkaran anak rantai yang saling berhubungan.

Berbeda dengan orang yang berdzikir yang belum bertalqin/ bebaiat kepada seorang guru mursyid, ibarat anak rantai yang terlepas dari rangkaiannya. Seumpama induk rantai itu di tarik, maka ia tidak akan ikut tertarik. Maka kita semua perlu bersyukur karena telah diberi ghiroh (semangat) dan kemauan untuk berbaiat kepada seorang guru mursyid. Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah menjalaninya serta senantiasa menjaga dan menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga dapat istiqomah didalam murabathah (merekatkan hubungan) dengan guru musyid kita masing-masing.

Dasar Talqin
Didalam mentalqin dzikir, seorang guru mursyid dapat melakukan kepada jamaah (banyak orang) atau kepada perorangan. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW. telah mentalqin para sahabatnya, baik secara berjamaah atau perorangan.
Adapun talqin Nabi SAW. kepada para sahabatnya secara jamaah sebagaimana diriwayatkan dari Sidad bin Aus RA Ketika kami (para sahabat) berada dihadapan Nabi SAW, beliau bertanya: “Adakah diantara kalian orang asing "(maksud beliau adalah ahli kitab), aku menjawab: Tidak! Maka beliau menyuruh menutup pintu, lalu berkata:Angkatlah tangan-tangan kalian dan ucapkanlah La ilaaha illallah! Kemudian Beliau melanjutkan :Alhamdulillah, ya Allah sesungguhnya Engkau mengutusku dengan kalimat ini (La ilaaha illallah), Engkau perintahkan aku dengannya dan Engkau janjikan aku surga karenanya. Dan Engkau sungguh tidak akan mengingkari janji. Lalu beliau berkata: Ingat! Berbahagialah kalian, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.
Sedangkan talqin Beliau kepada sahabatnya secara perorangan adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Yusuf Al-Kirwaniy dengan sanad yang shahih bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah pernah memohon kepada Nabi SAW : Ya Rasulullah, tunjukkanlah aku jalan yang paling dekat kepada Allah, yang paling mudah bagi hambanya dan yang paling utama disisi-Nya! Maka Beliau menjawab:Sesuatu yang paling utama yang aku ucapkan dan para nabi sebelumku adalah La ilaaha illallah. Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi berada diatas daun timbangan dan La ilaaha illallah berada diatas daun timbangan yang satunya, maka akan lebih beratlah ia (La ilaaha illallah), lalu lanjut beliau: Wahai Ali, kiamat belum akan terjadi selama di muka bumi ini masih ada orang yang mengucapkan kata Allah. Kemudian sahabat Ali berkata: Ya Rasulullah, bagaimana aku berdzikir menyebut nama Allah? Beliau menjawab: Pejamkan kedua matamu dan dengarkan dariku tiga kali, lalu tirukan tiga kali dan aku akan mendengarkannya. Kemudian Nabi SAW mengucapakn La ilaaha illallah tigakali dengan memejamkan kedua mata dan mengeraskan suara beliau, lalu sahabat Ali bergantian mengucapkan La ilaaha illallah seperti itu dan Nabi SAW mendengarkannya. Inilah dasar talqin dzikir jahri (La ilaaha illallah).
Adapun talqin dzikir qolbi yakni dengan hati tanpa mengerakkan lisan dengan itsbat tanpa nafi, dengan lafadz ismudz-dzat (Allah) yang diperintahkan Nabi SAW dengan sabdanya :Qul Allah Tsumma dzarhum (Katakanlah, Allah lalu biarkan mereka), adalah dinisbatkan kepada Ash-Shiddiq Al-Adhom (Abu Bakar Ash-Shiddiq RA) yang mengambilnya secara batin dari Al-Musthofa SAW. Inilah dzikir yang bergaung mantap dihati Abu Bakar RA. Nabi SAW bersabda: Abu Bakar mengungguli kalian bukan karena banyaknya puasa dan shalat, tetapi karena sesuatu yang bergaung mantap didalam hatinya. Inilah dasar talqin dzikir sirri.
Semua aliran thoriqoh bercabang dari dua penisbatan ini, yakni nisbat kepada sayyidina Ali Karamallahu wajhah untuk dzikir jahri dan nisbat kepada sayyidina Abu Bakar RA untuk dzikir sirri. Maka kedua Beliau inilah sumber utama dan melalui keduanya pertolongan Ar-Rahman datang.

Nabi SAW mentalqin kalimah Thoyibah ini kepada para sahabat Radliallah anhum untuk membersihkan hati mereka dan mensucikan jiwa mereka, seta menghubungkan mereka kehadirat Ilahiyyah (Allah) dan kebahagiaan yang suci murni.Akan tetapi pembersihan dan pensucian dengan kalimah thoyibah ini atau Asma-asma Allah yang lainnya itu, tidak akan berhasil kecuali si pelaku dzikir menerima talqin dari Syaikhnya yang alim, amil, kamil, fahim, terhadap makna Alqur'an dan syariat, mahir dalam hadits atau sunnah dan cerdas dalam aqidah dan ilmu kalam, dimana syaikhnya tersebut juga telah menerima talqin kalimah thoyyibah tersebut dari syaikhnya yang terus bersambung dari syaikhnya yang agung yang satu dari syaikh agung yang lainnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Adab Berdzikir
Untuk melaksanakan dzikir didalam thoriqoh ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni adab berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al Mafakhir Al-Aliyah fil Ma-atsir Asy-Syadzaliyah disebutkan pada pasal Adabuddz-Dzikr, sebagaiman dituturkan oleh Asy-Sya'roni bahwa adab berdzikir itu banyak tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima)adab dilakukan sebelum bedzikir, 12 (dua belas)adab dilakukan pada saat berdzikir, 2(dua) adab dilakukan seelah selesai berdzikir.
Adapun 5 (lima ) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah;
1… Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya, baik yang berupa ucapan, perbuatan, atau keinginan.
2… Mandi dan atau wudlu.
3… Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam dzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan Lailaaha illallah.
4… Menyaksikan dengan hatinya ketika sedang melaksanakan dzikir terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya.
5… Meyakini bahwa dzikir thoriqoh yang didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang didapat dari Rasulullah SAW, karena syaikhnya adalah naib (pengganti ) dari Beliau.
Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan pada saat melakukan dzikir adalah;
1… Duduk di tempat yang suci seperti duduknya didalam shalat..
2… Meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya
3… Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau wewangian, demikian pula dengan pakaian di badannya.
4… Memakai pakaian yang halal dan suci.
5… Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.
6… Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dhohir, karena dengan tertutupnya indra dhohir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati / bathin.
7… Membayangkan pribadi guru mursyidnya diantara kedua matanya. Dan ini menurut ulama thoriqoh merupakan adab yang sangat penting
8… Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) atau ramai (banyak orang).
9… Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan seseorang yang berdzikir akan sampai derajat Ash-Shidiqiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbesit di dalam hatinya (berupa kebaikan dan keburukan ) kepada syaikhnya.Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti dia berkhianat dan akan terhalang dari fath (keterbukaan bathiniyah).
10.. Memilih shighot dzikir bacaan La ilaaha illallah, karena bacaan ini memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan-bacaan dzikir syar'i lainnya.
11.. Menghadirkan makna dzikir didalam hatinya.
12.. Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan La ilaaha illallah, agar pengaruh kata illallah terhujam didalam hati dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.
Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah;
1… Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzkir. Para ulama thoriqoh berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar dari pada apa yang dihasilkan oleh riyadloh dan mujahadah tiga puluh tahun.
2… Mengulang-ulang pernapasannya berkali-kali. Karena hal ini (menurut ulama thoriqoh) lebih cepat menyinarkan bashiroh, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan-bisikan hawa nafsu dan syetan.
3… Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkan hararah (rasa hangat di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq dan tahyij (rasa rindu dan gairah) kepada Al-Madzkur/ Allah SWT yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir akan memadamkan rasa tersebut.
4… Para guru mursyid berkata:Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan tiga tata krama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul dengan hal tersebut.Wallahu a'lam.
Keterangan
1… Himmah para syaikh /guru mursyid adalah keinginan para beliau agar semua muridnya bisa wushul kepada Allah SWT.
2… Sikap duduk pada waktu melakukan dzikir ada perbedaan antara aliran thoriqoh yang satu dengan yang lainnya, bahkan antara satu mursyid dengan yang lainnya dalam satu aliran.Ada yang menggunakan cara duduk seperti duduk di dalam shalat (tawarruk atau iftirasy), ada yang tawarruk di balik artinya kaki kanan yang di masukkan di bawah lutut kaki kiri, ada yang dengan muroba (bersila) dan ada yang dengan cara seperti saat di baiat oleh mursyidnya. Oleh karena ittu maka sikap duduk didalam berdzikir bisa dilakukan sesuai dengan petunjuk guru musyidnya masing- masing.
3… Membayangkan pribadi syaikhnya seakan berada di hadapannya pada saat melakukan dzikir, yang lazim di sebut rabithah atau tashawwur bagi seorang murid thoriqoh. Hal tersebut lebih berfaidah dan lebih mengena dari pada dzikirnya itu.Karena syaikh adalah washilah /perantara untuk wushul kehadirat sang maha haq azza wa jalla bagi si murid, dan setiap kali bertambah wajah kesesuaian bayangannya bersama syaikhnya maka bertambah pula anugerah- anugerah dalam batiniyahnya, dan dalam waktu dekat akan sampailah dia pada apa yang dicarinya (Allah). Dan lazimnya bagi seorang murid untuk fana/ lebur lebih dahulu dalam pribadi syaikhnya, kemudian setelah itu ia akan sampai pada fana/ lebur pada Allah Swt.Wallahu a'lam.

4… Yang dimaksud dengan waridudz dzikir segala sesuatu yang datang atau muncul didalam hati berupa makna-makna atau pengertian-pengertian setelah berdzikir yang bukan dikarenakan oleh usaha kerasnya si pelaku dzikir.