Jumat, 24 Februari 2012

MURSYID



Mursyid Kamil Mukammil
oleh: K.H. Wahid Zuhdi 
( pengasuh Ponpes al-Ma’ruf, Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jateng; juga sebagai wakil Syuriyah NU wilayah Jateng dan sebagai anggota lajnah tashhih NU Pusat dan di persatuan thariqat se-Indonesia )

Mursyid kamil mukammil adalah seorang mursyid yang sudah sempurna dalam wushulnya kepada Allah dan dapat menyempurnakan muridnya untuk juga wushul kepada Allah. Mursyid kamil mukammil pastilah seorang waliyullah, tetapi sebaliknya, seorang waliyullah belum tentu seorang mursyid. Karena seoarang mursyid mempunyai otoritas mematrikan/menghunjamkan dzikir ke dalam qolbu seorang murid untuk mensucikan qolbunya dan sebagai biji iman yang siap dicangkul, dipupuk, dirawat, disirami sampai tumbuh dan berkembang yang akhirnya akan berbuah manisnya iman.

Dengan biji iman yang ditanamkan ke dalam qolbu yang telah disucikan oleh mursyid kamil mukammil dan diiringi dengan ketekunan, keistiqomahan seorang murid dalam menjalankan petunjuk mursyid, insya Allah akan terjadi perubahan secara simultan dalam diri seorang murid menuju kemerdekaan yang hakiki yaitu bebas dari segala belenggu penghambaan/perbudakan kepada dan terhadap apapun kecuali hanya kepada ALLAH.

Mursyid akan senantiasa mendoakan, membimbing, mengingatkan, mengarahkan, menata perjalan murid menuju Allah yang sungguh sangat banyak tipu dayanya.

Wali Mursyid Itu Perlu

Seorang saudaraku bertanya:
APAKAH ADA PERADABAN YG LEBIH BAIK DARI ISLAM? TIDAK!!
Hmm..kadang aku berpikir, apa kunci Rasulullah hingga mampu membangun satu peradaban baru hanya dalam waktu 23 tahun...?

Barangkali kuncinya seperti tergambar dalam surat al-Jum'ah / 67:2. Beliau menjalankan tiga tugas utama:
1. Tilawah, membacakan ayat-ayat Allah. Memperkenalkan kepada orang-orang tentang adanya petunjuk 'langit', dan meyakinkan mereka tentang kebanaran ayat-ayat 'langit' itu.
2. Tazkiyah, mensucikan jiwa pengikutnya. Tanpa kesucian jiwa maka makna ayat-ayat yang dibacakan tak akan terpahami dengan baik, tak juga ayat-ayat itu terasakan sebagai penggerak yang memotivasi orang untuk mengamalkannya.
3. Taklim, mengajarkan ketentuan-ketentuan Allah (hukum, kitab) juga tujuan dan manfaat dari ketentuan-ketentuan tersebut (hikmah).

Sekarang ini fungsi tilawah telah banyak tergantikan oleh berbagai media. Kalau dulu hanya dibacakan oleh orang, sekarang ayat-ayat telah dibukukan, dikasetkan, di-CD/ VCD-kan, didigitalkan. Orang dapat mengaksesnya secara langsung. Untuk membacanya pun sudah banyak tersedia kursus-kursus yang dapat melatihkannya dengan berbagai metode yang sangat cepat.

Fungsi taklim masih berjalan terus, bahkan makin banyak ustadz yang memimpin majlis-majlis taklim, baik langsung maupun menggunakan fasilitas distance learning melalui radio/tv dan internet.

Yang jadi masalah adalah fungsi tazkiyah. Rasulullah s.a.w. mentazkiyah jiwa para sahabat sebelum mentaklim mereka. Jiwa para sahabat sudah tersucikan lebih dulu sebelum mendapatkan taklim. Tapi siapa yang mentazkiyah diri kita saat ini? Untuk tilawah kita dapat menggunakan berbagai multi media ayat yang banyak tersebar dengan harga murah. Untuk taklim kita dapat mendatangi majlis taklim, halaqah, liqa', dan mabit; menjumpai para ustadz dan murabbi. Tapi semua itu kita lakukan dengan qalbu yang kotor karena tidak mengalami tazkiyah lebih dulu.

Adakah para ustadz/kyai itu dapat mentazkiyah jiwa kita. Apakah para murabbi kita juga sudah tersucikan jiwanya sehingga mampu mentazkiyah kita? Kadang kita katakan, tak perlu tazkiyah secara formal, lakukan saja ibadah-ibadah yang ada dengan ikhlas dan tekun, nanti jiwa akan tertazkiyah sendiri. Betulkah? Bagaimana kita dapat ikhlas kalau belum tazkiyah. Bagaimana akan termotivasi dan tekun beribadah kalau masih banyak kototan jiwa? Jadi berputar-putar dong, untuk tazkiyah perlu ibadah, tapi untuk ikhlas dan tekun ibadah diperlukan tazkiyah lebih dulu...

Kita katakan tak perlu ada tazkiyah secara formal, juga tak perlu ada orang yang mentazkiyah kita, karena kita memang belum mengetahui pentingnya dua hal itu. Rasulullah s.a.w. mendapatkan tilawah, tazkiyah, dan taklim dari malaikat Jibril. Para sahabat mendapatkannya dari Rasul s.a.w. Para tabi'in dari para sahabat... begitu seterusnya. Tapi lagi-lagi, siapa yang mentazkiyah kita saat ini? Kadang kita terlalu arogan dengan mengatakan tak perlu tazkiyah dan orang yang mentazkiyah, karena hubungan kita dengan Allh SWT bersifat langsung dan individual, tak memerlukan perantara. Tapi betulkah kita, dengan segala kekotoran kita dapat terhubung langsung dengan Allah? Bukankah Rasulullah s.a.w. sebelum mikraj pun ditazkiyah dulu qalbunya oleh Jibril?

Masukilah rumah lewat pintunya. Pelajarilah agama melalui sumbernya. Seraplah cahaya ilahiah melalui salurannya. Mursyid itu perlu... Kita gak kan pandai tanpa guru (bukankah dikatakan, siapa yang belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan...).

Jiwa tak kan terbersihkan tanpa ada yang men-tazkiyah-nya.
Tentu jangan sembarang orang kita jadikan mursyid. Bagaimana ia akan men-tazkiyah diri kita kalau dia pun belum tersucikan jiwanya. Carilah mursyid yang berkualifikasi wali. Bukan wali murid, atau wali nikah, tapi wali Allah... Tapi bagaimana kita mengetahui seseorang itu wali Allah, jangan-jangan kita malah terjebak oleh pengkultusan yang menyesatkan


Eksistensi Seorang Mursyid

Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.

Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran.

Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.


Thariqah

Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau salah satu jalan menuju wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi, thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah.

Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan pokok atau inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak membutuhkan pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia tua yang biasanya kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti thariqah hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja.

Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau bahkan bisa sampai derajat wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan satu-satunya.


Wushul
Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk mencapai derajat wushul (sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke derajat tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap thariqah adalah satu-satunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul.

Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat wushul. Ada dua ibadah yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini dikarenakan shalat dan dzikir merupakan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa diharapkan akan membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam shalat dan dzikir orang akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan.

Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan barang. Oleh Imam Hanafi orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya. Namun ketika baru setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan barangnya yang hilang sambil membisikkan agar tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk melanjutkan shalatnya.

Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai hasil maksimal harus melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan juga tiak ada yang menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan dengan disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan tergoda oleh syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu haqiqat) dan masih jauh dari standar.

Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran maupun terhindar dari kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak pada aqidah.


Mursyid

Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.

Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah.

Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.


Urgensi Mursyid Dalam Tarekat

Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi dalam praktek sufisme, bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang diserap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam taat ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”

Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang 

Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

 Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan taat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar batin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar