Rabu, 29 Februari 2012

Jumat, 24 Februari 2012

MURSYID



Mursyid Kamil Mukammil
oleh: K.H. Wahid Zuhdi 
( pengasuh Ponpes al-Ma’ruf, Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jateng; juga sebagai wakil Syuriyah NU wilayah Jateng dan sebagai anggota lajnah tashhih NU Pusat dan di persatuan thariqat se-Indonesia )

Mursyid kamil mukammil adalah seorang mursyid yang sudah sempurna dalam wushulnya kepada Allah dan dapat menyempurnakan muridnya untuk juga wushul kepada Allah. Mursyid kamil mukammil pastilah seorang waliyullah, tetapi sebaliknya, seorang waliyullah belum tentu seorang mursyid. Karena seoarang mursyid mempunyai otoritas mematrikan/menghunjamkan dzikir ke dalam qolbu seorang murid untuk mensucikan qolbunya dan sebagai biji iman yang siap dicangkul, dipupuk, dirawat, disirami sampai tumbuh dan berkembang yang akhirnya akan berbuah manisnya iman.

Dengan biji iman yang ditanamkan ke dalam qolbu yang telah disucikan oleh mursyid kamil mukammil dan diiringi dengan ketekunan, keistiqomahan seorang murid dalam menjalankan petunjuk mursyid, insya Allah akan terjadi perubahan secara simultan dalam diri seorang murid menuju kemerdekaan yang hakiki yaitu bebas dari segala belenggu penghambaan/perbudakan kepada dan terhadap apapun kecuali hanya kepada ALLAH.

Mursyid akan senantiasa mendoakan, membimbing, mengingatkan, mengarahkan, menata perjalan murid menuju Allah yang sungguh sangat banyak tipu dayanya.

Wali Mursyid Itu Perlu

Seorang saudaraku bertanya:
APAKAH ADA PERADABAN YG LEBIH BAIK DARI ISLAM? TIDAK!!
Hmm..kadang aku berpikir, apa kunci Rasulullah hingga mampu membangun satu peradaban baru hanya dalam waktu 23 tahun...?

Barangkali kuncinya seperti tergambar dalam surat al-Jum'ah / 67:2. Beliau menjalankan tiga tugas utama:
1. Tilawah, membacakan ayat-ayat Allah. Memperkenalkan kepada orang-orang tentang adanya petunjuk 'langit', dan meyakinkan mereka tentang kebanaran ayat-ayat 'langit' itu.
2. Tazkiyah, mensucikan jiwa pengikutnya. Tanpa kesucian jiwa maka makna ayat-ayat yang dibacakan tak akan terpahami dengan baik, tak juga ayat-ayat itu terasakan sebagai penggerak yang memotivasi orang untuk mengamalkannya.
3. Taklim, mengajarkan ketentuan-ketentuan Allah (hukum, kitab) juga tujuan dan manfaat dari ketentuan-ketentuan tersebut (hikmah).

Sekarang ini fungsi tilawah telah banyak tergantikan oleh berbagai media. Kalau dulu hanya dibacakan oleh orang, sekarang ayat-ayat telah dibukukan, dikasetkan, di-CD/ VCD-kan, didigitalkan. Orang dapat mengaksesnya secara langsung. Untuk membacanya pun sudah banyak tersedia kursus-kursus yang dapat melatihkannya dengan berbagai metode yang sangat cepat.

Fungsi taklim masih berjalan terus, bahkan makin banyak ustadz yang memimpin majlis-majlis taklim, baik langsung maupun menggunakan fasilitas distance learning melalui radio/tv dan internet.

Yang jadi masalah adalah fungsi tazkiyah. Rasulullah s.a.w. mentazkiyah jiwa para sahabat sebelum mentaklim mereka. Jiwa para sahabat sudah tersucikan lebih dulu sebelum mendapatkan taklim. Tapi siapa yang mentazkiyah diri kita saat ini? Untuk tilawah kita dapat menggunakan berbagai multi media ayat yang banyak tersebar dengan harga murah. Untuk taklim kita dapat mendatangi majlis taklim, halaqah, liqa', dan mabit; menjumpai para ustadz dan murabbi. Tapi semua itu kita lakukan dengan qalbu yang kotor karena tidak mengalami tazkiyah lebih dulu.

Adakah para ustadz/kyai itu dapat mentazkiyah jiwa kita. Apakah para murabbi kita juga sudah tersucikan jiwanya sehingga mampu mentazkiyah kita? Kadang kita katakan, tak perlu tazkiyah secara formal, lakukan saja ibadah-ibadah yang ada dengan ikhlas dan tekun, nanti jiwa akan tertazkiyah sendiri. Betulkah? Bagaimana kita dapat ikhlas kalau belum tazkiyah. Bagaimana akan termotivasi dan tekun beribadah kalau masih banyak kototan jiwa? Jadi berputar-putar dong, untuk tazkiyah perlu ibadah, tapi untuk ikhlas dan tekun ibadah diperlukan tazkiyah lebih dulu...

Kita katakan tak perlu ada tazkiyah secara formal, juga tak perlu ada orang yang mentazkiyah kita, karena kita memang belum mengetahui pentingnya dua hal itu. Rasulullah s.a.w. mendapatkan tilawah, tazkiyah, dan taklim dari malaikat Jibril. Para sahabat mendapatkannya dari Rasul s.a.w. Para tabi'in dari para sahabat... begitu seterusnya. Tapi lagi-lagi, siapa yang mentazkiyah kita saat ini? Kadang kita terlalu arogan dengan mengatakan tak perlu tazkiyah dan orang yang mentazkiyah, karena hubungan kita dengan Allh SWT bersifat langsung dan individual, tak memerlukan perantara. Tapi betulkah kita, dengan segala kekotoran kita dapat terhubung langsung dengan Allah? Bukankah Rasulullah s.a.w. sebelum mikraj pun ditazkiyah dulu qalbunya oleh Jibril?

Masukilah rumah lewat pintunya. Pelajarilah agama melalui sumbernya. Seraplah cahaya ilahiah melalui salurannya. Mursyid itu perlu... Kita gak kan pandai tanpa guru (bukankah dikatakan, siapa yang belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan...).

Jiwa tak kan terbersihkan tanpa ada yang men-tazkiyah-nya.
Tentu jangan sembarang orang kita jadikan mursyid. Bagaimana ia akan men-tazkiyah diri kita kalau dia pun belum tersucikan jiwanya. Carilah mursyid yang berkualifikasi wali. Bukan wali murid, atau wali nikah, tapi wali Allah... Tapi bagaimana kita mengetahui seseorang itu wali Allah, jangan-jangan kita malah terjebak oleh pengkultusan yang menyesatkan


Eksistensi Seorang Mursyid

Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.

Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran.

Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.


Thariqah

Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau salah satu jalan menuju wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi, thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah.

Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan pokok atau inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak membutuhkan pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia tua yang biasanya kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti thariqah hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja.

Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau bahkan bisa sampai derajat wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan satu-satunya.


Wushul
Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk mencapai derajat wushul (sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke derajat tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap thariqah adalah satu-satunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul.

Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat wushul. Ada dua ibadah yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini dikarenakan shalat dan dzikir merupakan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa diharapkan akan membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam shalat dan dzikir orang akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan.

Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan barang. Oleh Imam Hanafi orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya. Namun ketika baru setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan barangnya yang hilang sambil membisikkan agar tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk melanjutkan shalatnya.

Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai hasil maksimal harus melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan juga tiak ada yang menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan dengan disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan tergoda oleh syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu haqiqat) dan masih jauh dari standar.

Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran maupun terhindar dari kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak pada aqidah.


Mursyid

Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.

Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah.

Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.


Urgensi Mursyid Dalam Tarekat

Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi dalam praktek sufisme, bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang diserap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam taat ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”

Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang 

Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

 Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan taat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar batin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah

Minggu, 19 Februari 2012

Thariqah

• Pengertian Tasawuf •
Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW. gaya hidup sederhana, tetapi penuh kesungguhan. Akhlak Rasul tidak dapat dipisahkan serta diceraikan dari kemurnian cahaya Alquran. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan garis perhentian cita-cita tasawuf dalam Islam itu.

Dhunnun al-Misri, seorang sufi yang terkemuka, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tasawuf ialah pembebasan dari ragu dan putus asa, kemudian tegak berdiri beserta yakin iman. Pengertian yang simpang siur tentang urat bahasa sufi dan tasawuf menimbulkan pengiraan bahwa tasawuf Islam mencakup pula bahan-bahan sufi Yunani dan mistik, serta Hindu Farsi. Pandangan tersebut merupakan pengiraan yang keliru dan mengelirukan. Terlepas dari adanya pengakuan jujur tentang adanya persamaan yang tampak lahirnya, ataupun mengenal istilah-istilah dan cara-cara melatih jiwa. Di dalam tasawuf Islam ditemukan ciri-ciri yang istimewa; yaitu pengembalian dengan cara mutlak segala persoalan agama dan kehidupan kepada Alquran dan Sunnah.

Al-Junaid, penghulu sufi Islam, di dalam redaksi yang bermacam-macam menegaskan bahwa yang mungkin menjadi ahli tasawuf itu hanyalah barang siapa yang mengetahui keseluruhan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena itu yang sebenarnya tasawuf adalah kefanaan diri ke dalam kemurnian Alquran dan Sunnah.

• Pengertian Tareqat •
Secara terminologi (istilah) tarekat yang berasal dari kata thariqah itu mula-mula berarti jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kemudian ia digunakan untuk menunjuk suatu metode psikologi moral untuk membimbing seseorang mengenal Tuhan.  Thariqah dalam pengertian inilah yang digunakan dalam karya al-Junayd, al-Hallaj, al-Sarraj, al-Hujwiri, dan al-Qushayri. Melalui jalan itu seseorang dengan menempuh berbagai tingkatan psikologis dalam keimanan dan pengamalan ajaran Islam dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi, sehingga akhirnya ia mencapai realitas (hakikat) Tuhan yang tertinggi.

Tarekat adalah suatu metode praktis dalam membimbing murid dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan secara berurutan untuk merasakan hakikat Tuhan. Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah.
Berdasarkan uraian itu maka dapat disimpulkan bahwa tarekat adalah jalan yang ditempuh murid agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan di bawah bimbingan guru (mursyid).

• Perkembangan  Thariqah
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan non-formal yang namanya  Thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Thariqah Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Thariqah Naqsabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah, dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahlal-Thariqah al-Mu'tabarah.


Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah

Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M.). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Thariqah Naqsabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Thariqah Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.

Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syaikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).

Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.

Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.

Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, tentang adab (etika), tentang dzikir, dan tentang murakabah.


Sumber :  http://www.suryalaya.org

Jumat, 17 Februari 2012

LATIFAH


 LATIFAH

1. latifatul qolbi
2. latifatur ruh
3. latifatus sirri
4. latifatul khoffi
5. latifatul akhfa
6 .latifatun nafsi
7. latifatul qolab

‎1. latifatul qolbi

Tempatnya kira-kira 2 jari di bawah buah dada kiri. yang mempunyai pengikut-pengikut di bawah ini (nafsu lawamah) :

1. lupa mengingat allah
2. suka mencela
3 . menuruti hawa nafsu
4 . makar/menipu
5. membanggakan diri
6. mengunjing
7. riya/pamer
8. aniaya/dhalim
9. berbohong


‎2. latifatur ruh

tempatnya kira-kira 2 jari dibawah buah dada kanan. Yang mempunyai pengikut-pengikut (nafsu mulhimah/sawiyah):

1. dermawan
2. tidak rakus
3. lapang dada
4. merendahkan hati
5. bertaubat
6. tahan uji
7. tahan menderit


‎3. latifatus sirri

tempatnya kira-kira 2 jari di atas buah dada kiri. Yang mempunyai pengikut-pengikut (Nafsu mutmainah) :

1 tidak kikir
2. tawakal
3, ibadah dengan ikhlas
4. syukur atas nikmat
5. ridho
6. takut maksiat


4. latifatul khoffi

tempatnya kira-kira 2 jari di atas buah dada kanan. Yang mempunyai pengikut-pengikut (Nafsu Mardiay/Rodhiyah) :

1. baik budi pekerti
2. meninggalkan selain Allah SWT
3. belas kasihan kepada sesama makhluk
4. selalu mengajak kepada kebaikan
5. memaafkan kesalahan semua pihak
6. sayng sesama makhluk hidup
7. tahu diri


5. latifatul akhfa

tempatnya ditengah-tengah dada. Yang mempunyai pengikut-pengikut (Nafsu Mardliyyah) :

1. ilmu yaqin
2. ainul yaqin
3. haqqul yakin


‎6 .latifatun nafsi

Tempatnya di antara 2 alis (ditengah-tengah jidat). Yang mempunyai pengikut-pengikut (Nafsu Amarah) :

1. pelit/bakil/kikir
2. serakah
3. dengki/iri hati
4. bodoh
5. takabur
6. syahwat melanggar syariat
7. pemarah


‎7. latifatul qolab.

Nafsu Kamilah..tidak punyai pengikut. jika latifah 7 ini dikuasai akan mengalami Musyahadah & makrifat.

TALQIN DZIKIR


TALQIN DZIKIR

Didalam thoriqoh ada yang disebut Talqinudz-Dzikr, yakni pendiktean kalimat dzikir La ilaaha illallah dengan lisan (diucapkan) atau pendiktean Ismudz-Dzat lafadz Allah secara bathiniyah dari seorang guru mursyid kepada muridnya.
Dalam melaksanakan dzikir thoriqoh seseorang harus mempunyai sanad (ikatan) yang mutasil (bersambung) dari guru mursyidnya yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Penisbatan (pengakuan adanya hubungan) seorang murid dengan guru mursyidnya hanya bisa melalui Talqin dan Ta'lim dari seorang guru yang telah memperoleh izin untuk memberikan ijazah yang sah yang bersandar sampai kepada guru mursyid Shohibuth Thoriqoh, yang terus bersambung sampai kepada rasulullah SAW.
Karena dzikir tidak akan memberikan faidah secara sempurna kecuali melalui talqin dan izin dari seorang guru mursyid. Bahkan mayoritas ulama thoriqoh menjadikan talqin dzikir ini sebagai salah satu syarat dalam berthoriqoh. Karena isi (rahasia) didalam thoriqoh sesungguhnya adalah keterikatan antara satu hati dengan hati yang lainnya sampai kepada rasulullah SAW, yang bersambung sampai kehadirat Yang Maha Haqq, Allah Azza wa Jalla.
Dan seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir yang juga lazim disebut baiat dari seorang guru mursyid, berarti dia telah masuk silsilahnya para kekasih Allah yang Agung.
Jadi jika seeorang berbaiat thoriqoh berarti dia telah berusaha untuk turut menjalankan perkara yang telah dijalankan oleh mereka.
Perumpamaan orang yang berdzikir yang telah di talqin / dibaiat oleh guru mursyid itu seperti lingkaran rantai yang saling bergandengan hingga induknya, yaitu Rasulullah SAW. Jadi kalau induknya ditarik maka semua lingkaran yang terangkai akan ikut tertarik kemanapun arah tarikannya itu. Dan silsilah para wali sampai kepada Rasulullah SAW itu bagaikan sebuah rangkaian lingkaran-lingkaran anak rantai yang saling berhubungan.

Berbeda dengan orang yang berdzikir yang belum bertalqin/ bebaiat kepada seorang guru mursyid, ibarat anak rantai yang terlepas dari rangkaiannya. Seumpama induk rantai itu di tarik, maka ia tidak akan ikut tertarik. Maka kita semua perlu bersyukur karena telah diberi ghiroh (semangat) dan kemauan untuk berbaiat kepada seorang guru mursyid. Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah menjalaninya serta senantiasa menjaga dan menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga dapat istiqomah didalam murabathah (merekatkan hubungan) dengan guru musyid kita masing-masing.

Dasar Talqin
Didalam mentalqin dzikir, seorang guru mursyid dapat melakukan kepada jamaah (banyak orang) atau kepada perorangan. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW. telah mentalqin para sahabatnya, baik secara berjamaah atau perorangan.
Adapun talqin Nabi SAW. kepada para sahabatnya secara jamaah sebagaimana diriwayatkan dari Sidad bin Aus RA Ketika kami (para sahabat) berada dihadapan Nabi SAW, beliau bertanya: “Adakah diantara kalian orang asing "(maksud beliau adalah ahli kitab), aku menjawab: Tidak! Maka beliau menyuruh menutup pintu, lalu berkata:Angkatlah tangan-tangan kalian dan ucapkanlah La ilaaha illallah! Kemudian Beliau melanjutkan :Alhamdulillah, ya Allah sesungguhnya Engkau mengutusku dengan kalimat ini (La ilaaha illallah), Engkau perintahkan aku dengannya dan Engkau janjikan aku surga karenanya. Dan Engkau sungguh tidak akan mengingkari janji. Lalu beliau berkata: Ingat! Berbahagialah kalian, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.
Sedangkan talqin Beliau kepada sahabatnya secara perorangan adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Yusuf Al-Kirwaniy dengan sanad yang shahih bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah pernah memohon kepada Nabi SAW : Ya Rasulullah, tunjukkanlah aku jalan yang paling dekat kepada Allah, yang paling mudah bagi hambanya dan yang paling utama disisi-Nya! Maka Beliau menjawab:Sesuatu yang paling utama yang aku ucapkan dan para nabi sebelumku adalah La ilaaha illallah. Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi berada diatas daun timbangan dan La ilaaha illallah berada diatas daun timbangan yang satunya, maka akan lebih beratlah ia (La ilaaha illallah), lalu lanjut beliau: Wahai Ali, kiamat belum akan terjadi selama di muka bumi ini masih ada orang yang mengucapkan kata Allah. Kemudian sahabat Ali berkata: Ya Rasulullah, bagaimana aku berdzikir menyebut nama Allah? Beliau menjawab: Pejamkan kedua matamu dan dengarkan dariku tiga kali, lalu tirukan tiga kali dan aku akan mendengarkannya. Kemudian Nabi SAW mengucapakn La ilaaha illallah tigakali dengan memejamkan kedua mata dan mengeraskan suara beliau, lalu sahabat Ali bergantian mengucapkan La ilaaha illallah seperti itu dan Nabi SAW mendengarkannya. Inilah dasar talqin dzikir jahri (La ilaaha illallah).
Adapun talqin dzikir qolbi yakni dengan hati tanpa mengerakkan lisan dengan itsbat tanpa nafi, dengan lafadz ismudz-dzat (Allah) yang diperintahkan Nabi SAW dengan sabdanya :Qul Allah Tsumma dzarhum (Katakanlah, Allah lalu biarkan mereka), adalah dinisbatkan kepada Ash-Shiddiq Al-Adhom (Abu Bakar Ash-Shiddiq RA) yang mengambilnya secara batin dari Al-Musthofa SAW. Inilah dzikir yang bergaung mantap dihati Abu Bakar RA. Nabi SAW bersabda: Abu Bakar mengungguli kalian bukan karena banyaknya puasa dan shalat, tetapi karena sesuatu yang bergaung mantap didalam hatinya. Inilah dasar talqin dzikir sirri.
Semua aliran thoriqoh bercabang dari dua penisbatan ini, yakni nisbat kepada sayyidina Ali Karamallahu wajhah untuk dzikir jahri dan nisbat kepada sayyidina Abu Bakar RA untuk dzikir sirri. Maka kedua Beliau inilah sumber utama dan melalui keduanya pertolongan Ar-Rahman datang.

Nabi SAW mentalqin kalimah Thoyibah ini kepada para sahabat Radliallah anhum untuk membersihkan hati mereka dan mensucikan jiwa mereka, seta menghubungkan mereka kehadirat Ilahiyyah (Allah) dan kebahagiaan yang suci murni.Akan tetapi pembersihan dan pensucian dengan kalimah thoyibah ini atau Asma-asma Allah yang lainnya itu, tidak akan berhasil kecuali si pelaku dzikir menerima talqin dari Syaikhnya yang alim, amil, kamil, fahim, terhadap makna Alqur'an dan syariat, mahir dalam hadits atau sunnah dan cerdas dalam aqidah dan ilmu kalam, dimana syaikhnya tersebut juga telah menerima talqin kalimah thoyyibah tersebut dari syaikhnya yang terus bersambung dari syaikhnya yang agung yang satu dari syaikh agung yang lainnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Adab Berdzikir
Untuk melaksanakan dzikir didalam thoriqoh ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni adab berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al Mafakhir Al-Aliyah fil Ma-atsir Asy-Syadzaliyah disebutkan pada pasal Adabuddz-Dzikr, sebagaiman dituturkan oleh Asy-Sya'roni bahwa adab berdzikir itu banyak tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima)adab dilakukan sebelum bedzikir, 12 (dua belas)adab dilakukan pada saat berdzikir, 2(dua) adab dilakukan seelah selesai berdzikir.
Adapun 5 (lima ) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah;
1… Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya, baik yang berupa ucapan, perbuatan, atau keinginan.
2… Mandi dan atau wudlu.
3… Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam dzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan Lailaaha illallah.
4… Menyaksikan dengan hatinya ketika sedang melaksanakan dzikir terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya.
5… Meyakini bahwa dzikir thoriqoh yang didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang didapat dari Rasulullah SAW, karena syaikhnya adalah naib (pengganti ) dari Beliau.
Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan pada saat melakukan dzikir adalah;
1… Duduk di tempat yang suci seperti duduknya didalam shalat..
2… Meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya
3… Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau wewangian, demikian pula dengan pakaian di badannya.
4… Memakai pakaian yang halal dan suci.
5… Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.
6… Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dhohir, karena dengan tertutupnya indra dhohir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati / bathin.
7… Membayangkan pribadi guru mursyidnya diantara kedua matanya. Dan ini menurut ulama thoriqoh merupakan adab yang sangat penting
8… Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) atau ramai (banyak orang).
9… Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan seseorang yang berdzikir akan sampai derajat Ash-Shidiqiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbesit di dalam hatinya (berupa kebaikan dan keburukan ) kepada syaikhnya.Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti dia berkhianat dan akan terhalang dari fath (keterbukaan bathiniyah).
10.. Memilih shighot dzikir bacaan La ilaaha illallah, karena bacaan ini memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan-bacaan dzikir syar'i lainnya.
11.. Menghadirkan makna dzikir didalam hatinya.
12.. Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan La ilaaha illallah, agar pengaruh kata illallah terhujam didalam hati dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.
Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah;
1… Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzkir. Para ulama thoriqoh berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar dari pada apa yang dihasilkan oleh riyadloh dan mujahadah tiga puluh tahun.
2… Mengulang-ulang pernapasannya berkali-kali. Karena hal ini (menurut ulama thoriqoh) lebih cepat menyinarkan bashiroh, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan-bisikan hawa nafsu dan syetan.
3… Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkan hararah (rasa hangat di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq dan tahyij (rasa rindu dan gairah) kepada Al-Madzkur/ Allah SWT yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir akan memadamkan rasa tersebut.
4… Para guru mursyid berkata:Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan tiga tata krama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul dengan hal tersebut.Wallahu a'lam.
Keterangan
1… Himmah para syaikh /guru mursyid adalah keinginan para beliau agar semua muridnya bisa wushul kepada Allah SWT.
2… Sikap duduk pada waktu melakukan dzikir ada perbedaan antara aliran thoriqoh yang satu dengan yang lainnya, bahkan antara satu mursyid dengan yang lainnya dalam satu aliran.Ada yang menggunakan cara duduk seperti duduk di dalam shalat (tawarruk atau iftirasy), ada yang tawarruk di balik artinya kaki kanan yang di masukkan di bawah lutut kaki kiri, ada yang dengan muroba (bersila) dan ada yang dengan cara seperti saat di baiat oleh mursyidnya. Oleh karena ittu maka sikap duduk didalam berdzikir bisa dilakukan sesuai dengan petunjuk guru musyidnya masing- masing.
3… Membayangkan pribadi syaikhnya seakan berada di hadapannya pada saat melakukan dzikir, yang lazim di sebut rabithah atau tashawwur bagi seorang murid thoriqoh. Hal tersebut lebih berfaidah dan lebih mengena dari pada dzikirnya itu.Karena syaikh adalah washilah /perantara untuk wushul kehadirat sang maha haq azza wa jalla bagi si murid, dan setiap kali bertambah wajah kesesuaian bayangannya bersama syaikhnya maka bertambah pula anugerah- anugerah dalam batiniyahnya, dan dalam waktu dekat akan sampailah dia pada apa yang dicarinya (Allah). Dan lazimnya bagi seorang murid untuk fana/ lebur lebih dahulu dalam pribadi syaikhnya, kemudian setelah itu ia akan sampai pada fana/ lebur pada Allah Swt.Wallahu a'lam.

4… Yang dimaksud dengan waridudz dzikir segala sesuatu yang datang atau muncul didalam hati berupa makna-makna atau pengertian-pengertian setelah berdzikir yang bukan dikarenakan oleh usaha kerasnya si pelaku dzikir.

SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI


SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI
Seorang ulama besar Abu Muhammad Muhyiddin Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah Al-Jailani qs yang kemudian terkenal dengan nama Syeikh Abdul Qadir Jailani dilahirkan pada tahun 471 H/1078 M di Jailan Tabaristan. Dari silsilahnya ia masih keturunan Rasulullah saw. Mula-mula ia belajar Al-Qur’an dan setelah hapal Al-Qur’an ia belajar ilmu Fiqh menurut mazhab Ahmad bin Hanbal (Hanbali) kepada Syeikh Abul Wafa’ dan Syeikh Abul Khattab Al-Kalwazani. Dalam sastra dan bahasa Arab ia belajar kepada Abul Husein Abu Ya’la. Dalam bidang tasawwuf dan tarikat ia belajar kepada Syeikh Hamad Al-Dibas dan Ibnu Sa’ad Al-Mubarak. Demikian, masih banyak guru-guru dan bidang ilmu yang ia tekuni yang tidak dapat disebutkan semuanya di sini.

Ia hidup mandiri dari hasil usahanya sendiri dengan kehidupan zuhud, wara’ dan banyak beribadah sebagaimana lazimya seorang sufi. Sambil berdakwah, beliau memberikan pelajaran dan menjadi guru besar dalam tarikat yang kemudian diberi nama dengan namanya sendiri, yakni Tarikat Qodiriyah. Ia mengajar di Pesantren yang dibangunnya sendiri di Baghdad dan di Pesantren ini pula berdiri pusat kegiatan (ribath) tarikatnya. Di Pesantren inilah ia meninggal dunia pada tahun 561 H/1166 M.

Kesufian Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani diakui dan dibenarkan oleh berbagai kalangan, antara lain :
1.   Muwaffiq Ad-Din bin Qadamah (541-620 H) ahli fiqh mazhab Hanbali yang terkenal, mengatakan : Kami mengetahuinya di akhir usianya dan kami tinggal di sekolahnya dan tidak pernah saya dengar kekeramatan (karamah) yang banyak dibicarakan orang  sebagaimana yang dibicarakan tentang Abdul Qadir Jailani dan tidak kulihat orang-orang begitu memuliakan sebagaimana orang memuliakannya.
     Sebagian kaum muslimin di Asia Tenggara termasuk di Indonesia tentunya, juga sangat memuliakan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani; Kenapa ?. Karena mereka meyakini bahwa Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah salah seorang ulama pewaris nabi.
      Apa buktinya bahwa Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah ulama pewaris nabi ?. Salah satu buktinya adalah dianugerahkan oleh Allah SWT karamah kepada beliau.
2.   Ibnu Katsir menguraikan tentang akhlak Abdul Qadir Jailani sebagai orang yang tangguh dalam amar ma’ruf nahi munkar, berbuat positif, zuhud, wara’ dan sufi yang disegani.
3.  Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani mempunyai banyak karamah yang jelas.
4.  Ibnu Rajab mengatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah guru di masanya, teladan orang-orang yang ma’rifat, pemimpin para syeikh, pemilik maqam dan karamah.
5.  Ibnu Ma’ad mengatakan bahwa karamah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani melebihi batas dan tidak terhitung jumlahnya.
6.   Al-‘Izz bin Abdussalam mengatakan bahwa tidak ada karamah yang dinukil kepada kami secara mutawatir kecuali karamahnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.
7.   Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tarikat Abdul Qadir Jailani adalah tarikat yang dibenarkan oleh syara. Ibnu Taimiyah semula beliau menentang ajaran tasawwuf dan tarikat, namun akhirnya dia meninggal dunia sebagai seorang sufi.

Karamah secara bahasa berasal dari kata al-karam lawan dari al-lu’mu (celaan) dan karrama berarti mengagungkan dan membersihkan. Secara istilah karamah adalah perkara luar biasa yang terjadi pada seorang muslim yang bukan nabi. Orang tersebut mendapat karamah karena dia dicintai Allah SWT.

Kenapa dicintai Allah karena dia beramal shalih dengan menjalankan syari’at-Nya, mempunyai aqidah yang benar dan berakhlak mulia mengikuti Nabi saw. Karamah itu merupakan bukti bahwa ketakwaan (aqidah, syari’ah dan akhlak) orang tersebut wushul (sampai), diterima dan diridhoi oleh Allah SWT. Jadi karamah merupakan stempel kewalian yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada orang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa. 

Jadi waliyullah (kekasih Allah) adalah orang yang dimuliakan Allah dengan hidayah, lalu dia beriman kepada Allah, bertakwa kepada-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan ketaatan lahir dan batin dan meninggalkan kemaksiatan lahir dan batin, mencintai orang yang dicintai-Nya dan memusuhi orang yang dimusuhi-Nya. Firman Allah dalam hadits qudsi yang diceriterakan oleh sahabat Abu Hurairah sedangkan lafadznya diambil dari kitab Hadits Bukhary :

Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku (kekasih-Ku), maka aku mengizinkannya untuk diperangi, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan jika hamba-Ku masih mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah, maka Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya memegang, dan menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan.  Jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya.  Aku tidak pernah ragu mengerjakan sesuatu, seperti keraguanku kepada jiwa seorang Mukmin yang benci mati, sementara Aku benci dia akan melakukan perbuatan tercela.

Mu’jizat adalah isim fa’il yang diambil dari kata al-‘ajzu yang artinya yang berada di luar kekuasaan. Mu’jizat adalah kejadian yang berada di luar kebiasaan untuk menyeru kepada kebaikan dan kebahagiaan, yang diikuti dengan seruan kenabian yang tujuannya untuk menampakkan kebenaran pada orang yang mengaku dirinya utusan Allah. 

Sebagian ulama mendefinisikan mukjizat dengan kejadian yang berada di luar kebiasaan, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang sejalan dengan pengakuan kerasulan, yang diikuti dan diterapkan pada saat muncul tantangan sebagai langkah awal, yang tidak seorang pun dapat menyamai atau mendekatinya. Firman Allah dalam Al-Qur’an, Surat : Al-Hadid : 25 :

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Al-Baghdadi berkata : Ketahuilah bahwa mu’jizat dan karamah itu sama karena keduanya sama-sama berada di luar kebiasaan (dalam arti  tidak mengikuti hukum alam). Hanya saja dia membedakan antara keduanya dari tiga aspek  :
1.   Sesuatu yang menunjukkan atas kebenaran para nabi disebut mu’jizat, sedangkan sesuatu yang menunjukkan atas kebenaran para wali disebut karamah.
2.   Pemilik mu’jizat menampakkannya untuk menguatkan kebenarannya, tetapi pemilik karamah berusaha untuk menyembunyikannya.
3.   Pemilik mu’jizat terjaga dari kekafiran setelah menampakkan mu’jizatnya, sedangkan pemilik karamah tidak menutup kemungkinan keadaannya berubah seperti yang terjadi pada Bal’am bin Ba’ura’.

Contoh mu’jizat :
1.   Tongkat Nabi Musa as menjadi ular dan bisa membelah lautan.
2.   Api tidak membakar Nabi Ibrahim as.
3.   Nabi Isa as menghidupkan orang yang sudah mati.
4.  Mu’jizat Al-Qur’an.
5.   Mu’jizat air memancar dari sela-sela jari Nabi Muhammad saw.
6.   Mu’jizat membanyakkan makanan yang sedikit.
7.   Mu’jizat paha kambing beracun berkata-kata kepada Nabi saw.
8.   Mu’jizat membelah bulan.
9.   Mu’jizat tangisan pelepah kurma.
10. Mu’jizat onta berbicara.
11. Mu’jizat pohon tunduk kepada Rasulullah saw.

Contoh karomah :
1.   Syeikh Abdul Qadir Jailani menghidupkan orang yang sudah mati ratusan tahun.
Dalam kitab Asrorut Tholibin diriwayatkan bahwa Syekh Abdul Qodir pada waktu melewati suatu tempat, beliau bertemu dengan seorang umat Islam yang sedang hangat bersilat lidah, beranggar kata, berdebat dengan seorang umat Nasrani. Beliau kemudian mengadakan penelitian dan pemeriksaan yang seksama apa penyebab terjadinya perdebatan yang sengit itu.

Kata seorang muslim : Sebenarnya kami sedang membangga-banggakan Nabi kami masing-masing, siapa diantara Nabi yang paling baik dan saya berkata kepadanya bahwa Nabi Muhammad saw yang paling utama. Sedangkan orang Nasroni mengatakan bahwa Nabi Isa yang paling sempurna.
Syekh bertanya kepada orang Nasroni : Apa yang menjadi dasar dan apa pula dalilnya, kamu bisa mengatakan bahwa Nabi Isa lebih sempurna daripada Nabi yang lainnya. Lalu orang Nasroni itu menjawab : Nabi Isa mempunyai keistimewaan, beliau bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Syekh melanjutkan lagi pertanyaannya : Apakah kamu tahu bahwa aku ini bukan Nabi, aku hanya sekedar penganut dan pengikut Agama Nabi Muhammad saw. Kata orang Nasroni : Ya benar saya tahu. Lebih jauh Syekh bertanya lagi : Kalau sekiranya aku bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati, apakah kamu bersedia untuk percaya dan beriman kepada Agama Nabi Muhammad saw ?.  Baik, saya mau beriman kepada Agama Islam, jawab orang Nasroni itu. Kalu begitu mari kita mencari kuburan, kata Syekh Abdul Qodir. Setelah mereka menemukan sebuah kuburan dan kebetulan kuburan itu sudah tua, sudah berusia lima ratus tahun.

Lalu Syekh mengulangi lagi pertanyaannya : Nabi Isa kalau akan menghidupkan orang yang sudah mati bagaimana caranya ?. Orang Nasroni menjawab : Beliau cukup dengan mengucapkan : Qum ! bi-idznillah, artinya : Bagun kamu dengan izin Allah. Nah sekarang kamu perhatikan dan dengarkan baik-baik, kata Syekh, lalu beliau menghadap pada kuburan tadi sambil mengucapkan : Qum ! bi-idzni, artinya : Kamu bangun dengan izin ku. Mendengar ucapan itu orang Nasroni tercengan keheran-heranan dan kuburan itu terbelah dan bangunlah mayat dari kuburan sambil bernyanyi. Konon pada waktu hidupnya mayat itu seorang penyanyi (musisi). Melihat dan menyaksikan peristiwa yang aneh itu, seketika itu juga orang Nasroni berubah keyakinannya dan beriman masuk Agama Islam.

2.   Syeikh Abdul Qadir Jailani berbuka puasa di rumah murid-muridnya pada sa’at yang sama.
Diriwayatkan, pada suatu hari pada bulan Romadhon, Syekh Abdul Qodir diundang berbuka puasa oleh murid-muridnya sebanyak tujuh puluh orang di rumahnya masing-masing mereka berkeinginan agar Syekh berbuka puasa di rumahnya masing-masing. Mereka tidak mengetahui bahwa masing-masing diantara mereka mengundang Syekh untuk berbuka puasa pada waktu yang bersamaan.

Tiba waktunya berbuka puasa bertepatan Syekh berbuka puasa di rumah beliau, detik itu pun rumah murid-muridnya yang tujuh puluh orang itu masing-masing dikunjungi oleh Syekh dan Syekh Abdul Qodir Jailani berbuka puasa tepat pada satu waktu yang bersamaan.

Peristiwa ini di kota Bagdad sudah masyhur terkenal di kalangan masyarakat dan sudah menjadi buah bibir masyarakat dalam setiap pembicaraan dan pertemuan.

Pertanyaan :
Bagaimana mungkin peristiwa yang luar biasa (karamah) itu banyak ditampakkan pada diri seorang ulama, padahal para sahabat saja yang nota bene mendapat pengajaran agama dan pendidikan ruhani langsung dari Rasulullah saw dan melihat langsung bagaimana ilmu agama tadi dipraktekan sehari-hari oleh Rasulullah saw, dengan demikian kualitas aqidah dan syariah para sahabat akan jauh lebih baik, lebih taqorub kepada Allah dan oleh karenanya lebih dicintai Allah SWT; kepada mereka tidak banyak diberikan sesuatu yang luar biasa, artinya tidak banyak karamah yang kita dengar lewat para sahabat Nabi saw.

Jawab :
Justru karena sinar Islam, kekuatan ruhani Islam pada zaman sahabat dan tabiin, masih sangat terang-benderang ibarat lampu yang bersinar dengan daya 1000 watt, karena mereka langsung mendapat bimbingan dan asuhan Rasulullah saw, maka dalam kondisi saat itu hampir tidak diperlukan media lain, semacam karamah, untuk membuktikan kebenaran ajaran-ajaran Islam. Karena ingat bahwa ditampakkannya karamah pada diri seorang wali OLEH ALLAH, tujuan nya tiada lain adalah untuk da'wah, bukan untuk unjuk kedigjayaan. Walaupun demikian ada beberapa karamah (kejadian luar biasa) yang ditampakkan oleh Allah melalui para sahabat, misalnya

1.   Khutbah Jum’ah Khalifah Umar ra ditujukan kepada Sariyah di balik gunung, berisi petunjuk-petunjuk perang, yang dapat didengar dengan jelas oleh Sariyah itu, padahal antara tempat Sariyah berperang dan tempat Umar berkhotbah berjarak ratusan kilo meter. Sariyah adalah komandan tentara yang sedang bertempur.
2.   Abu Bakar ra dapat melihat jenis kelamin anak yang akan lahir dari kandungan ibunya.
3.   Seorang, sesaat sebelum melaksanakan shalat berjamaah bersama Khjalifah Ustman bin Affan sebagai imam dan para sahabat lainnya, di situ juga ada Ali bin Abi Thalib, sahabat Anas bin Malik tidak sengaja menoleh ke kiri, dilihatnya wajah seorang perempuan yang sangat cantik rupawan yang terbuka cadarnya. Subhanallah, cantik sekali, gumannya. Dorongan nafsu syahwatnya begitu besar, sehingga qolbunya tak kuasa menahan dorongan nafsu tersebut untuk menyuruh matanya menoleh kembali ke arah wajah cantik itu. Setelah selesai sholat berjamaah, dilanjutkan wirid dan dzikir berjamaah kemudian ditutup dengan do’a. Sayyidina Ustman ra kemudian membalikan badannya menghadap kepada para jamaah, ditatapnya satu per sartu wajah jamaahnya. Ketika pandangannya tepat di wajah Anas bin Malik spontan khalifah berkata : Di kedua matamu aku melihat bekas zina. Para shabat yang lain terperanjat kaget mendengar perkataan Khalifah tadi, sambil mengarahkan pandangannya ke arah Anas bin Malik. Sayyidina Ali kw angkat bicara membela Anas, Tidak mungkin Khalifah, aku tahu persis perilaku sahabat Anas bin Mlaik. Anas lalu berdiri, Soddakta Ya Kahlifah (benar Ya Khalifah) tadi sebelum shalat aku melihat wajah seorang wanita yang terbuka cadarnya.

Setelah Rasulullah saw meninggal, kemudian siar Islam dijalankan oleh para sahabat. Setelah generasi sahabat meninggal, siar Islam dijalankan oleh tabiin. Setelah generasi tabiin meninggal, siar Islam diteruskan oleh tabiit-tabiin. Dan setelah generasi tabiit-tabiin meninggal, maka bergantilah generasi umat ke generasi para ulama. Sinar kekuatan Islam, aqidah-syariah-akhlak umat mulai terdegradasi pada masa ini, terkikis oleh perubahan zaman. Berbagai bentuk kemusyrikan, khurafat dan tahayul merajalela di tengah-tengah masyarakat.

Disamping itu, sejalan dengan perkembangan IPTEK, pola hidup konsumerisme, hedonisme dan materialisme tumbuh subur, sehingga manusia amat sangat cintanya kepada dunia dan melupakan kematian. Selain itu, akibat lemahnya kadar IMTAK umat, muncul berbagai penyakit masyarakat-dekadensi moral atau kemerosotan akhlak dan kejahatan, seperti perjudian, mabuk-mabukan, narkoba, perzinahan, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, KKN dan lain-lain. Akibatnya kekuatan ruhani Islam semakin hari hari semakin redup, ibarat lampu yang intensitas sinarnya pada zaman sahabat 1000 watt,  kini telah berkurang hanya tinggal 100 watt lagi atau bahkan lebih rendah lagi.

Jadi, kondisi lingkungan masyarakat pada generasi ulama ini identik atau bahkan lebih kompleks dan lebih berat dibandingkan dengan kondisi lingkungan masyarakat yang dihadapi oleh para Nabi. Kalau para Nabi dilengkapi dengan media yang disebut mu’jizat untuk menyeru umat kepada kebaikan dan kebahagiaan, yang diikuti dengan seruan kenabian yang tujuannya untuk menampakkan kebenaran pada seorang utusan Allah. Maka Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang, memperkuat misi da’wah para ulama pewaris nabi dengan media yang disebut karamah, yang tujuannya adalah untuk menampakkan bukti bahwa :
  1. Aqidah, syari’ah dan akhlak ulama tersebut wushul (sampai), diterima dan diridhoi oleh Allah SWT .
  2. Ajaran yang di’amalkan dan dida’wahkan oleh para ulama tadi adalah benar, sesuai dengan Al-Qur’an dan sesuai pula dengan ajaran Nabi saw dan oleh karenanya diterima dan diridhoi oleh Allah SWT.

Rasulullah saw bersabda : “Ulama umatku sama dengan Nabi bani Israil”.

Last but not least, jika Allah MEMBISAKAN (MEMAMPUKAN) seseorang yang dikehendaki-Nya untuk melakukan hal-hal yang supra-natural melebihi mu'jizat para nabi sekalipun, ITU adalah 100 persen hak Allah, siapa pun tidak ada yang bisa mengintervensi Allah, ingat firman Allah:
“Allah berbuat sebagaimana yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Hajj : 14 dan 18).